Opini  

Martabat Wartawan Ada di Karya, Bukan di Kartu Pers

Oleh: Adrian Agus Dt. Kando Marajo

banner 120x600

Di tengah hingar-bingar profesi yang kerap dikaburkan oleh pencitraan, satu hal perlu ditegaskan: martabat wartawan terletak pada karyanya, bukan pada atribut yang melekat di dadanya.

Seorang wartawan senior pernah berkata, “Wartawan dihargai karena karyanya, bukan gayanya.” Kalimat sederhana, tapi tepat sasaran.

Berita, laporan mendalam, artikel analisis, hingga feature adalah napas jurnalisme. Karya inilah yang menjadi tolok ukur seorang wartawan, bukan jaket liputan atau kartu pers yang dipamerkan di keramaian.

Namun kini, muncul fenomena wartawan instan: mengaku dari media, tapi tanpa jejak karya. Tak punya berita, tak paham beda fakta dan opini, bahkan ada yang belum bisa mengoperasikan komputer. Mereka mengandalkan kartu pers, bukan kompetensi dan integritas.

Lebih parah lagi, sebagian menjadikan profesi ini sebagai alat transaksi. Datang ke lokasi bencana bukan untuk melaporkan penderitaan, melainkan menawar “jatah liputan.” Hadir di konferensi pers bukan mencari informasi, tapi berharap amplop.

Perilaku seperti ini mencoreng profesi dan merusak kepercayaan publik terhadap media. Padahal, kepercayaan adalah modal utama seorang wartawan. Dan itu hanya bisa diraih melalui konsistensi menyampaikan informasi yang faktual, berimbang, dan jujur.

Wartawan sejati bukan hanya penulis yang andal, tapi juga penelusur kebenaran yang gigih. Profesi ini menuntut tanggung jawab moral dan kesadaran sosial yang tinggi. Tak selalu terlihat, tapi selalu diawasi. Tak selalu populer, tapi sangat dibutuhkan.

Martabat wartawan tak ditentukan oleh jabatan atau akses istimewa, tapi oleh karya yang menyuarakan kebenaran. Sejarah tidak mencatat siapa yang paling sering hadir di acara-acara, melainkan siapa yang menulis dan memberi makna.

Goenawan Mohamad mengingatkan, “Jurnalisme bukan sekadar menulis apa yang terjadi, tapi apa yang penting dari yang terjadi.”

Rosihan Anwar berkata, “Wartawan memikul tanggung jawab sosial.”

Sementara Walter Cronkite menegaskan, “Jurnalisme adalah syarat demokrasi.”

Carl Bernstein menutup, “Jurnalisme terbaik bukan soal ketenaran, tapi kebenaran.”

Kini, ketika semua orang bisa menulis lewat media sosial, wartawan harus tampil lewat karya, bukan sekadar kartu identitas.

Sebab pada akhirnya, jurnalisme bukan soal siapa yang paling sering terlihat, tapi siapa yang meninggalkan jejak paling dalam melalui tulisannya.

Wassalam.