Berita  

Penanda Kelok di Kelok 44 Banyak yang Hilang

banner 120x600

Detik-detik.com | Kelok 44, jalur berliku ekstrem yang membentang di Kabupaten Agam dan menjadi magnet wisatawan domestik hingga mancanegara, kini menyimpan ironi.

Di balik pemandangan alam yang memukau dan tantangan medan yang unik, jalur ini perlahan kehilangan identitasnya. Penanda kelok yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari karakter jalan ini, kini banyak yang hilang dan rusak.

Pantauan di lapangan menunjukkan kondisi paling parah terjadi di bagian awal jalur, khususnya dari Kelok 2 hingga Kelok 14. Pada kawasan yang cukup jauh dari pemukiman ini, hampir tidak ada lagi penanda kelok yang utuh. Bahkan, di titik Kelok 16 hingga 18, jejak keberadaan penanda pun nyaris lenyap total. Hanya Kelok 15 yang masih menyisakan papan penanda, meskipun kondisinya pun sudah buram.

Memasuki rentang Kelok 19 hingga 44, kondisi tak jauh berbeda. Penanda memang masih ada, namun keadaannya jauh dari layak. Sebagian besar mengalami pelapukan cat, kerusakan struktur, hingga miring. Beberapa di antaranya bahkan nyaris roboh.

Ketika dikonfirmasi, salah satu warga Nagari Maninjau menyebut bahwa sudah bertahun-tahun tidak ada perbaikan signifikan.

“Dulu sampai ada dua buah penanda kelok, tapi sekarang banyak yang sudah rusak dan hilang seolah dibiarkan begitu saja,” ujarnya.

Minimnya perhatian dari pihak terkait menimbulkan pertanyaan besar, ke mana arah kepedulian terhadap ikon lokal ini?

Kelok 44 bukan sekadar jalur penghubung, tapi simbol budaya, sejarah, sekaligus sumber ekonomi masyarakat melalui sektor pariwisata.

Fungsi penanda kelok sejatinya bukan hanya estetika atau hiasan jalan. Penanda menjadi panduan penting, terutama bagi pengendara dari luar daerah. Selain memudahkan navigasi, penanda juga memberikan sensasi tersendiri dalam melewati kelok demi kelok yang ikonik.

Bagi banyak wisatawan, menghitung dan berfoto di tiap kelok menjadi bagian dari pengalaman perjalanan yang tidak terlupakan.

Ketika pemerintah daerah dan masyarakat setempat tampak abai, maka yang terjadi adalah kehilangan bertahap dari sebuah warisan lokal.

“Ini soal identitas. Kalau hilang, bagaimana kita bisa bangga mengenalkannya ke generasi berikutnya?” ucap seorang pengelola homestay di Maninjau.

Kini, tuntutan untuk bertindak semakin mendesak. Pihak terkait urusan ini perlu mengambil langkah nyata, untuk merawat keberadaan penanda kelok.

Sebab membiarkan Kelok 44 kehilangan jati dirinya, sama saja dengan membiarkan ikon Sumatera Barat itu lenyap perlahan. (**)