Berita  

Kisah Detek dan Nian: Potret Kemiskinan di Agam

banner 120x600

DetakDetik.com | Tak ada manusia yang bercita-cita hidup dalam kekurangan. Tak satu jiwa pun mengimpikan melewati hari-hari dalam derita, dalam sunyi kemiskinan yang pekat.

Begitu pula pasangan suami istri ini, Detek (60) dan Sumiarti, akrab disapa Nian (50), warga Dusun Lubuk Panjang, Jorong II Nagari Garagahan, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Takdir seolah mempermainkan hidup mereka.

Detek, dengan keterbatasan mentalnya, dan Nian, yang jiwanya tak lagi sempurna, berjuang menggenggam harapan di tengah dunia yang serba terbatas.

Namun, di balik semua itu, ada tawa yang dipaksakan, ada keceriaan yang dipelihara meski getir. Ke mana pun mereka melangkah, tangan keduanya selalu menggenggam, mencari kayu bakar, mengutip kelapa dan pinang yang jatuh di kebun-kebun orang. Hanya itu yang bisa mereka andalkan, seutas jalan sunyi menuju penghidupan.

Kini mereka menempati sebuah rumah sederhana yang sudah layak sebagai tempat tinggal. Namun, mereka masih kesulitan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, seringkali harus berjuang keras agar bisa mencapainya. Dapat makan sekali sehari saja sudah dianggap mujur bagi mereka.

“Kadang pagi cuma minum air putih, siangnya baru makan nasi, itu pun kalau ada,” ucap Detek, memeluk lututnya sambil menatap kosong ke halaman.

Hidup mereka bergantung pada hasil jualan kayu bakar, kelapa, dan pinang yang kadang hanya menghasilkan tak lebih dari Rp10 ribu, bahkan sering tak menghasilkan apa-apa.

Belakangan, saat harga kelapa melambung dan pinang dipanen muda oleh pemiliknya, sandaran terakhir mereka pun runtuh. Tak ada lagi yang bisa dipungut dari lahan kerabat atau tetangga.

“Kalau ada kelapa dan pinang masak yang jatuh, Alhamdulillah. Kalau tidak, ya tidak apa-apa,” kata Detek sambil menggenggam tangan istrinya erat-erat.

Kini, nafkah mereka bergantung sepenuhnya pada belas kasih. Sebutir beras dari saudara, seulas senyum dari tetangga. Hidup mereka menetes pelan, setetes demi setetes, dari kemurahan hati yang tak pasti.

Sejak tujuh tahun lalu, saat Iyak Ana, ibu tercinta Detek, menutup mata untuk selamanya, dunia mereka semakin sunyi. Dulu ada yang membimbing, kini hanya ada sepi yang membekap setiap langkah. Mereka berdua seperti perahu kecil yang hanyut di samudera luas tanpa nahkoda, tanpa arah.

“Dulu kalau lapar, ada amak yang selalu pikirkan kami,” kata Detek perlahan.

Mereka tak pernah mengeluh. Tidak pernah menengadahkan tangan dengan paksa. Tapi bisakah kita menutup mata pada harapan sunyi yang diam-diam mereka kirimkan pada langit? Pada kita? Pada pemerintah nagari, pada pemerintah daerah, pada siapa pun yang masih punya hati?

Di atas kertas, bantuan sosial mengalir deras. Seharusnya menyentuh tangan-tangan yang paling rapuh. Seharusnya sampai ke meja-meja kecil seperti milik Detek dan Nian.

Tapi realitas berkata lain. Lebih sering, bantuan itu mendarat di meja orang-orang yang perutnya sudah lama tidak lagi kelaparan.

Mereka yang punya koneksi, yang mahir berbisik di lorong-lorong kekuasaan, dengan mudah mencantumkan nama mereka. Mereka menikmati bantuan, berkali-kali, tanpa malu.

Sementara Detek dan Nian?

Mereka tetap hidup di sela-sela statistik. Sebagai angka. Sebagai nama yang tak pernah cukup penting untuk dipanggil.

Detek dan Nian yang sungguh-sungguh layak dibantu tetap tercecer dalam kesunyian, terlupakan dalam barisan panjang ketidakadilan.

Dan hingga hari ini, di bawah langit yang sama, Detek dan Nian tetap berjalan, memungut kehidupan dari remah-remah belas kasihan, menunggu keajaiban yang entah kapan datangnya.

Mereka tak butuh banyak. Mereka hanya butuh sedikit perhatian. Agar di sisa usia mereka tahu, dunia ini tidak sepenuhnya membisu terhadap derita yang mereka tanggung.

Detek dan Nian tidak pernah meminta dunia menjadi adil. Mereka hanya ingin sekadar hidup. Tapi negeri ini, terlalu sibuk mencatat statistik dan melupakan manusia.

Di negeri ini, suara orang lapar tenggelam di antara tepuk tangan acara seremonial.

Di negeri ini, penderitaan hanya penting saat kamera menyala.

Sementara di sudut kecil Nagari Garagahan, ada sepasang tangan yang masih menggenggam erat. Ada dua jiwa yang memungut kehidupan dari remah-remah belas kasihan.

Dunia terus berputar, tanpa peduli. Sementara mereka, tetap di sana, menunggu. Bukan keajaiban. Tapi sejumput keadilan yang tak pernah jatuh dari langit. (***)