Opini  

Janji Pelabuhan Ikan yang Terus Diombang-ambing

Oleh : Anizur Zoebir Tanjung

banner 120x600

DetakDetik.com | Sudah lebih dari satu dekade masyarakat nelayan di Pantai Tiku, Nagari Tiku Selatan, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatra Barat menanti kehadiran sebuah pelabuhan perikanan yang aman dan representatif. Sayangnya, hingga pertengahan tahun 2025 ini, pelabuhan tersebut belum juga terwujud. Janji demi janji bergulir, rencana berganti rencana, namun realisasi yang ditunggu tak kunjung datang.

Para nelayan yang hidup bergantung pada laut terus dihantui kecemasan setiap kali musim badai datang. Kapal-kapal mereka yang sebagian besar berukuran kecil tidak memiliki tempat berlindung. Mereka terpaksa menempuh perjalanan jauh ke Pelabuhan Bungus atau Muaro Padang, hanya untuk menyelamatkan kapal dari terjangan gelombang. Ini bukan hanya persoalan logistik, tapi soal kelangsungan mata pencaharian.

Pada tahun 2015, harapan sempat menguat ketika pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan kesiapannya membangun pelabuhan perikanan Tiku pada 2016. Bahkan telah dijanjikan kucuran dana Rp10 miliar dari APBN untuk membangun dermaga sepanjang 450 meter. Namun waktu berlalu tanpa kejelasan. Dana dan komitmen yang dijanjikan tak pernah benar-benar sampai di lapangan.

Usulan demi usulan terus diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Agam, terlebih setelah kewenangan pengelolaan kelautan berpindah ke provinsi. Pada 2022, usulan kembali dikirim ke Pemerintah Provinsi Sumbar. Tahun berikutnya, rencana pembangunan itu disebut akan direviu untuk menyesuaikan lokasi dan kebutuhan anggaran. Namun hingga kini, proyek itu tetap dalam tahap evaluasi tanpa progres yang nyata.

Masalah utama yang mengemuka adalah persoalan administrasi dan status lahan. Bertahun-tahun rencana tertahan karena belum jelasnya status tanah yang akan digunakan. Kini, DPRD Agam mengklaim persoalan tersebut telah rampung, bahkan studi kelayakan pun telah dilakukan pada 2023, dengan perencanaan lanjutan dijadwalkan tahun 2025 dan estimasi anggaran sebesar Rp20 miliar. Namun, tanpa ada kepastian politik dan dukungan fiskal dari provinsi maupun pusat, semuanya masih sebatas harapan.

Padahal, pelabuhan ini bukan sekadar fasilitas infrastruktur. Ia adalah denyut nadi ekonomi masyarakat pesisir Tiku. Tanpa pelabuhan, para nelayan tidak mungkin mengembangkan armada tangkap yang lebih besar dan efisien. Produktivitas perikanan laut Agam stagnan di angka 8 ribuan ton per tahun, dan ini sulit ditingkatkan tanpa dukungan fasilitas sandar dan distribusi yang memadai.

Pemerintah provinsi dan pusat harus menyadari bahwa membiarkan rencana ini terus menggantung adalah bentuk abai terhadap kebutuhan dasar masyarakat pesisir. Jika benar ada keseriusan membangun kemandirian ekonomi kelautan, maka pelabuhan perikanan Tiku semestinya menjadi prioritas. Bukannya terombang-ambing dalam studi dan wacana yang berulang tanpa ujung.

Kini, yang dibutuhkan bukan lagi revisi peta atau sekadar pertemuan koordinasi, melainkan keputusan tegas dan langkah nyata. Cukup sudah waktu dan energi yang terbuang dalam ketidakpastian. Nelayan Tiku berhak atas perlindungan, kepastian, dan fasilitas yang layak. Mereka tidak butuh janji baru, mereka butuh pelabuhan yang benar-benar dibangun. ***