Guru, atau dalam bahasa Arab disebut ustadz, merupakan profesi mulia yang telah lama menjadi pilar peradaban. Sejak dahulu, guru bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan nilai-nilai kehidupan.
Bahkan sebelum Indonesia berdiri, guru telah menjadi penerang jalan umat manusia. Allah SWT pun mengutus para nabi dan rasul sebagai pendidik sejati, membawa ajaran dan pedoman hidup bagi umat-Nya melalui kitab suci, termasuk Al-Qur’an.
Dalam falsafah Minangkabau kita mengenal ungkapan “Alam Takambang Jadi Guru”, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam bisa menjadi pelajaran bagi manusia. Guru dalam makna luas mencakup ulama, cendekiawan, dosen, tokoh adat dan budaya, hingga para pemimpin masyarakat. Semua memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki akhlak dan membina generasi yang lebih baik.
Namun realitas hari ini memperlihatkan hal yang memprihatinkan. Masih banyak guru yang hanya bertindak sebagai pengajar, datang, menyampaikan materi, lalu pergi. Aspek penting seperti etika, nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan santun, bahkan rasa empati kerap diabaikan. Padahal, guru sejatinya adalah teladan. Setiap sikap dan ucapan mereka akan ditiru oleh murid, baik disadari maupun tidak.
Lebih menyedihkan lagi, di era digital ini kita semakin sering melihat perilaku oknum guru yang tidak mencerminkan sosok pendidik, bahkan berurusan dengan hukum karena melanggar norma agama dan sosial. Sebagian bahkan mencoreng dunia pendidikan dengan melibatkan murid dalam kasus yang tidak semestinya.
Di tengah krisis keteladanan ini, kita perlu kembali pada nilai-nilai luhur pendidikan. Ki Hadjar Dewantara telah mengajarkan prinsip emas: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Seorang pendidik harus mampu memberi contoh, membangkitkan semangat, dan memberi dukungan dari belakang. Itulah inti dari pendidikan yang membentuk karakter.
Kita juga bisa meneladani tokoh Minangkabau seperti Rohana Kudus, pelopor pendidikan perempuan yang tidak hanya mengajarkan keterampilan praktis, tetapi juga membentuk perempuan-perempuan tangguh, berilmu, dan berakhlak.
Menjadi pendidik memang tidak mudah. Diperlukan niat yang lurus dan panggilan jiwa yang kuat. Jika hanya mengandalkan transfer ilmu, peran guru bisa digantikan teknologi. Namun jika kita hadir sebagai pendidik sejati yang membimbing, membentuk karakter, dan memberi teladan, maka kita berperan membangun masa depan bangsa.
Mari kita renungkan kembali, apakah kita sudah menjadi pendidik, atau baru sebatas pengajar? Semoga kita semua terus berusaha menjadi figur yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai dan membentuk generasi yang cerdas, berakhlak, dan bertakwa.
Wassalam.














