DetakDetik.com | Hampir satu dekade sudah warga Korong Tanjung, Nagari Gasan Gadang, Kecamatan Batang Gasan, Kabupaten Padang Pariaman menanti hadirnya kembali jembatan yang hilang digulung banjir bandang tahun 2017. Namun, hingga pertengahan 2025 ini, harapan itu tak kunjung menjadi kenyataan.
Jembatan yang menghubungkan kampung Tanjung dengan dusun Gasan Tinggi itu bukan hanya sekadar bangunan infrastruktur. Ia adalah urat nadi ekonomi bagi sekitar 200 kepala keluarga yang kini hidup dalam isolasi terbatas. Sejak jembatan hanyut terbawa arus deras hujan dari arah bukit, warga terpaksa mencari jalur alternatif sejauh 20 kilometer untuk bisa menjangkau pasar terdekat.
“Kalau dulu kami bisa bawa hasil hasil pertanian dan perkebunan langsung ke pasar dengan mobil lewat jembatan itu, sekarang harus mutar jauh. Ongkos bertambah, waktu habis,” ujar Ibu Lina, seorang petani kelapa yang kini harus mengandalkan ojek untuk menjual hasil panennya.
Mirisnya, jembatan darurat yang saat ini digunakan masyarakat hanyalah konstruksi kayu seadanya, dibangun secara swadaya, dan hanya cukup dilewati oleh kendaraan roda dua. Sebuah risiko besar yang tiap hari harus mereka tempuh demi menghidupi keluarga.
Kondisi serupa juga tampak di Dusun Tabek. Jembatan baru yang dibangun pada 2023 ternyata tak bertahan lama. Bagian opritnya kini mulai berlubang, memperlihatkan betapa rentannya infrastruktur yang seharusnya menopang mobilitas masyarakat.
“Kami sangat berharap pemerintah tidak hanya datang saat kampanye. Setelah itu kami dilupakan. Sudah hampir sepuluh tahun jembatan kami rusak, belum ada pembangunan permanen,” ungkap Rudi Hartono, Wali Korong Tanjung, Kamis (12/6/2025).
Menurut Rudi, jembatan yang hanyut tersebut dulunya hanyalah susunan gorong-gorong besar, yang tak lagi sanggup menahan derasnya air saat hujan lebat. Kini, untuk membangun ulang dengan kondisi normal aliran anak sungai, diperlukan bentangan sekitar 11 meter. Proyek ini jelas di luar kemampuan warga secara mandiri.
Bencana ini tidak hanya merusak jembatan, tapi juga merenggut sebagian badan jalan yang terus tergerus aliran sungai Batang Gasan. Jalan yang tersisa mulai rusak, menambah kesulitan warga dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Padang Pariaman memang bukan satu-satunya kabupaten yang dihantam persoalan infrastruktur pasca bencana. Namun, sepuluh tahun penantian untuk satu jembatan yang vital adalah luka panjang yang terlalu pahit untuk disebut ‘biasa’.
Sementara pemerintah daerah sibuk menyusun agenda pembangunan, warga Korong Tanjung masih harus mengandalkan batang-batang kayu dan nyali demi mengantar hasil kebun ke pasar.
Dan setiap kali mereka meniti jembatan reyot itu, satu pertanyaan terus menggema di kepala mereka, “sampai kapan kami harus begini?” (Anz)