DetakDetik.com | Di sebuah sudut kota kecil di pusat Pemerintahan Kabupaten Agam yang tak pernah kehabisan cerita, berdirilah sebuah warung kopi yang mungkin tak tampak istimewa dari luar. Tapi siapa sangka, dari meja-meja kayu dan gelas kopi panas milik Mus Mulyadi Sutan Maruf inilah lahir satu komunitas unik yakni Komunitas Lapau Mak Apuak. Bukan sekadar kumpulan orang iseng, ini adalah pertemuan lintas profesi yang menyatu oleh obrolan ringan, canda tawa, dan tentu saja, aroma kopi.
Dari pagi hingga malam, warung ini tak pernah benar-benar sepi. Mulai dari anggota dewan, polisi, pengacara, pejabat lokal, ASN, honorer, pensiunan, guru, wartawan, pemborong, kepala tukang, hingga pedagang kaki lima. Semuanya melebur dalam satu ruang yang sama. Tak ada kasta, tak ada sekat. Hanya ada satu tujuan yakni menikmati waktu, berbagi cerita, dan saling melepas penat.
Di tengah percakapan yang bisa bergeser cepat dari isu politik nasional ke harga cabai di pasar, nama “Mak Apuak” sering muncul sebagai bahan guyonan. Mak Apuak tak lain adalah panggilan sayang untuk pemilik warung itu sendiri, Sutan Maruf. Tubuhnya yang gempal menjadi inspirasi nama itu. Apuak, diambil dari kata gapuak alias gemuk, menjadi semacam maskot tidak resmi lapau ini. Tapi sayang, Mak Apuak juga sering jadi korban lelucon manis para pelanggannya.
Namun, dari tawa dan obrolan kopi yang awalnya hanya berputar di meja lapau, lahirlah ide ke arah lain yaitu touring motor. Seperti kopi yang tak pernah basi, begitu juga semangat mereka untuk menjelajah. Maka lahirlah gagasan: “Kalau kita bisa duduk bareng tiap hari, kenapa enggak jalan bareng juga?”
Dari “Ota Lapau ke Raun Sabalik” dengan Motor
Komunitas Lapau Mak Apuak bukan komunitas motor biasa. Mereka tidak mengenakan seragam mahal atau berkendara dengan motor gede berdecit. Tapi semangat kebersamaan dan keceriaan yang mereka bawa bisa jadi menyaingi klub motor manapun. Touring bagi mereka bukan soal kecepatan atau destinasi mewah, melainkan tentang cerita yang bisa ditertawakan saat berhenti untuk makan bersama “nasi batungkuih daun” dari masing-masing istri tercinta atau minum di warung pinggir jalan. Termasuk juga tentang saran arah yang lebih sering salah tapi seru, dan tentang surat ijin touring dari istri.
Dari perjalanan itulah muncul kebutuhan akan aturan, karena cara membawa motor dalam rombongan tetap perlu etika. Maka mereka mulai merumuskan “kode etik touring” versi Mak Apuak yakni datang tepat waktu, briefing dulu sebelum jalan, jangan saling salip, dan jangan terlalu banyak bawa barang. Tapi yang terpenting adalah bawa “Nasi Batungkuih Daun” dari rumah dan tetap bawa humor khas lapau, karena tanpa tawa, touring hanya jadi perjalanan biasa.
Kini, Komunitas Lapau Mak Apuak bukan hanya dikenal sebagai komunitas nongkrong, tapi juga sebagai kelompok yang aktif touring dan menyebar semangat solidaritas. Setiap perjalanan mereka menjadi bentuk nyata bahwa persahabatan bisa dimulai dari secangkir kopi dan berkembang menjadi komunitas yang menginspirasi.
Mak Apuak adalah tokoh sentral sekaligus simbol kehangatan komunitas ini. Mungkin tidak ikut semua touring karena harus jaga lapau, tapi ceritanya selalu ikut. Dan tiap kali rombongan kembali dari perjalanan, cerita mereka akan kembali tumpah ruah di meja-meja kopi warung itu. Dengan gelak tawa, dengan aroma kopi, dan dengan cinta yang sederhana tapi tulus.
Jadi, kalau kamu merasa penat, ingin tempat bercerita, atau sekadar cari kawan ngopi dan jalan-jalan, datang saja ke Lapau Mak Apuak di belakang Dinas Pertanian Agam. Siapa tahu, kamu bukan cuma dapat teman baru, tapi juga jalan hidup baru di atas motor dengan sahabat-sahabat baru.
Anizur Zoebir Tanjung