DetakDetik.com | Pagi itu, suasana di pesisir Pantai Tiku, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tampak berbeda dari biasanya. Deretan perahu nelayan yang biasanya sudah melaut sejak subuh, kini terparkir diam di tepian pantai. Bukan karena cuaca buruk, tapi karena satu masalah yang terus menghantui yakni kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
“Sudah beberapa hari ini kami tidak melaut, karena BBM tidak ada di SPBU,” keluh Kadri (38), nelayan asal Jorong Pasia Tiku, Sabtu (17/5/2025)
Ia duduk di samping perahunya yang menganggur, menatap laut yang kini hanya bisa ia pandangi tanpa bisa dijangkau.
Kadri menjelaskan bahwa untuk sekali melaut, ia membutuhkan sekitar 35 liter Pertalite. Namun, sejak Pertamina menghentikan sementara distribusi BBM ke SPBU Banda Gadang akibat insiden tercampurnya Pertalite dengan Solar pada Rabu (7/5/2025), nelayan seperti dirinya terpaksa berhenti bekerja.
“Kalau tak ada BBM, ya tak bisa melaut, kami tak bisa cari ikan. Mau makan apa kami ini?” ucapnya lirih.
Dalam beberapa hari terakhir, para nelayan bahkan harus meminjam uang kepada tengkulak demi memenuhi kebutuhan rumah tangga.
“Sudah tak ada tangkapan, utang malah bertambah,” tambahnya.

Kesulitan yang sama dirasakan oleh Rolly (36), nelayan lain yang mengoperasikan Kapal Payang, perahu berukuran lebih besar yang membutuhkan BBM dalam jumlah lebih banyak.
Rolly mengaku, untuk satu kali melaut, kapalnya bisa menghabiskan hingga enam jerigen BBM berkapasitas 35 liter. Itu berarti, sekitar 210 liter setiap hari.
“Tiga jerigen pagi, tiga jerigen siang. Tapi sekarang mendapatkan satu jerigen saja susahnya minta ampun. Kadang antre seharian di SPBU Manggopoh, cuma dapat 10 liter,” ujarnya dengan nada lelah.
Ia biasa mengandalkan ojek BBM untuk membantu membeli bahan bakar. Namun, belakangan para ojek pun kewalahan.
“Mereka bilang, seharian habis cuma untuk dapat dua jerigen. Sekarang semuanya susah,” katanya.
Yang paling menyakitkan bagi Rolly adalah nasib 13 anak buah kapal yang ikut menggantungkan hidup dari kapalnya. Mereka semua telah berkeluarga. Mereka semua butuh makan.
“Sehari saja kami tak bisa melaut, bisa jadi keluarga kami tak makan,” ucap Rolly, menahan haru.
Keluhan para nelayan juga sampai ke telinga Wali Nagari Tiku Selatan, Ismardi SP. Ia mengatakan bahwa hampir setiap hari menerima aduan dari warga, mulai dari pemilik kendaraan roda dua dan empat, hingga nelayan yang kini tak bisa melaut.
“Kalau ini dibiarkan, ekonomi masyarakat akan makin terpuruk. Terutama nelayan di Tiku Selatan yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari laut,” ujar Ismardi.
Ia berharap persoalan ini segera ditangani. Ia mendesak Pertamina untuk kembali menyalurkan BBM ke SPBU Banda Gadang dan meminta pihak SPBU lebih berhati-hati dalam proses pengisian tangki agar kesalahan serupa tidak terulang.
Insiden tercampurnya BBM terjadi pada Rabu (7/5/2025), ketika dua truk tangki, satu membawa 16 kiloliter Pertalite dan satu lagi 8 kiloliter Solar datang secara beriringan di tengah hujan lebat.

Karena kelelahan dan kondisi cuaca, petugas salah memasang selang, menyebabkan sekitar 500 liter Solar masuk ke dalam tangki Pertalite.
Pengawas SPBU Banda Gadang, Edwind Tanjung, menjelaskan bahwa kejadian tersebut murni disebabkan oleh kesalahan manusia (Human Error) dan bukan unsur kesengajaan.
“Begitu mengetahui kami langsung lapor ke Pertamina dan menghentikan penjualan,” ujarnya.
Namun, bagi para nelayan seperti Kadri dan Rolly, dampaknya jauh lebih dari sekadar kesalahan teknis. Ketika BBM langka, bukan hanya mesin kapal yang berhenti, roda kehidupan mereka pun ikut terhenti. (Anz)














